Pada
awal juli 2012 tepatnya tanggal 4, kita disuguhkan lagi dengan kasus bunuh
diri. Kasus bunuh diri ini ternyata bukan yang pertama dan satu-satunya. Masih
banyak kasus bunuh diri ini yang tidak nampak kepermukaan atau bahkan tidak
dinampakan ke permukaan. Bagaikan fenomena gunung es yang nampak dipermukaannya
sedikit, padahal mungkin didalamnya lebih besar dari apa yang nampak diluarnya.
Adalah
Markiah (30), seorang ibu yang telah melakukan bunuh diri dengan cara melompat
dari jembatan Pulo Empang, kota Bogor. Dalam aksi bunuh dirinya ini sang ibu
mengajak anaknya yang masih berusia tiga tahun.
Kasus
yang serupa juga terjadi pada 2010, Khoir Umi Latifah mengajak dua anak
balitanya membakar diri secara bersama-sama. Kemudian pada 2011, Suharta
mengajak anaknya gantung diri bersama.
Pada Maret 2012, ada dua kasus serupa, Erawati tega menenggelamkan anak
bungsunya yang masih berusia 4 tahun, baru kemudian si ibu memotong urat
nadinya. Di Surabaya, Ratna beserta dua anaknya bersama-sama meminum racun pada
25 Maret lalu.
Beberapa
kasus bunuh diri ini dilansir karena tidak kuat menahan himpitan beban hidup
yang harus mereka tanggung selama ini. Dengan kata lain akibat dari kemiskinan
yang terjadi dimasyarakat kita saat ini. Kemiskinan ini tak jarang juga menjadi
penyebab berbagai masalah atau bahkan tindakan criminal. Seperti, terganggunya
keharmonisan keluarga, perceraian, dan bahkan sampai tindak pembunuhan.
Misalnya
menurut Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat
selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen
(republika.co.id, 24/1). Data itu harus dipertanyakan sebab komponen surveinya
tidak realistis. Menurut BPS angka itu adalah perhitungan makro dengan sampel
hanya sekitar 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di
Indonesia (http://bimakab.bps.go.id/files/miskin.pdf). Artinya, hanya menggunakan sampel sekitar
0,1115 % yang tentunya belum dapat mewakili sampel data secara makro di
Indonesia. Disamping itu, garis kemiskinan yang digunakan Rp 267.408 untuk
perkotaan dan Rp 229.226 untuk pedesaan tidak logis dan tidak sesuai dengan
biaya hidup sehari-hari.
Program
penurunan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah ini tidak menghasilkan efek
positif di tengah-tengah masyarakat. Bahkan kemiskinanpun semakin meningkat,
walaupun dikatakan menurun data yang digunakan untuk surveynya ternyata masih
dipertanyakan. Ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang hanya bisa
memenuhi makan yang layak satu kali dalam satu hari saja, tidak dilihat dari
bagaimana masyarakat tersebut memenuhi sandang dan papannya juga. Seperti yang
dikatakan oleh Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Musni Umar, menilai berbagai
klaim keberhasilan pemerintah soal pertumbuhan ekonomi hanya menyentuh
masyarakat menengah dan atas. Musni menilai negara yang tidak bisa mengurus
orang miskin sebagai negara yang gagal.
Deraan
kemiskinan yang melanda negeri ini sebenarnya bukan diakibatkan karena Negara
ini miskin serta tidak memiliki sumber kekayaan untuk membiayai masyarakatnya.
Jika kita amati Negara kita ini kaya, bahkan sangat kaya dengan sumber daya
alamnya yang melimpah ruah, ditambah dengan iklim yang tropis yang berpeluang
meningkatnya hasil agraris, seperti pertanian dan perkebunan yang tidak sulit
untuk dikembangkan.
Adapun
faktor utama yang menjadikan sebagian masyarakt ini miskin adalah adanya sistem
yang mengatur Negara ini, yaitu sistem kapitalis-liberal. Dimana dalam sistem
ini diterapkan ‘survival of the fittest’, siapa yang kuat dialah yang menang.
Akibat dari sistem kapitalisme itu, kekayaan terkonsentrasi pada sebagian kecil
orang. Menurut ekonom Indef, Enny Sri
Hartati, 20 % dari penduduk Indonesia menguasai 48 % PDB, sedangkan mayoritas
yaitu 80 % dari penduduk Indonesia hanya menguasai 52 % PDB.
Fakta
yang lain yang mendukung sistem kapitalis-liberal diterapkan di Negara ini
adalah adanya data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tentang distribusi simpanan
bank umum April 2012. Menurut data LPS
itu, dari total nilai simpanan di bank umum nasional sebesar Rp 2.894,01
triliun, ternyata Rp 1.508,71 triliun-nya (52,13%) dikuasai oleh hanya 0,14%
dari total pemilik rekening. Data itu
juga menunjukkan, 97,38 % dari total pemilik rekening hanya menguasai Rp 466,49
triliun atau 16,12 % dari total nilai simpanan, sementara itu 2,62 % dari total
pemilik rekening menguasai Rp 2.427,52 triliun atau 83,88 % dari total nilai
simpanan. Padahal total jumlah rekening hanya 101,532 juta atau kurang dari 50%
jumlah penduduk Indonesia.
Ironisnya
lagi dengan semakin maraknya kasus korupsi dari hulu hingga hilir yang ternyata
dilakukan oleh orang-orang yang dikatakan pejabat sebagai refresentasi sosok
pemerintah yang harusnya mengurusi dan mengelola kebutuhan rakyatnya. Serta
diperparah dengan alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang minim.
Atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih berpihak pada asing
dari pada rakyatnya.seperti pada baru-baru ini terdapat statmen bahwa Indonesia
akan meminjamkan dana ke IMF padahal hutang Indonesia sendiri masih sekitar 225
milyar dolar dan kebutuhan dalam negeripun
belum terpenuhi dengan baik, dalam hal ini masih banyak masyarakat
Indonesia yang miskin.
Kemiskinan
yang terjadi di Negara ini merupakan kemiskinan struktular. Dimana kemiskinan
ini dihasilkan dari sistem yang mengaturnya atau bersifat sistemik. Dengan
demikian untuk penanggulangannyapun diperlukan sebuah usaha yang tidak hanya
dilakukan dalam bidang ekonomi saja, akan tetapi dari berbagai aspek yang
disebut dengan penyelesaian secara sistemik. Ketika sistemnya masih menggunakan
sistem sekarang yang notabenenya adalah sistem kapitalis dengan sistem politik
demokrasinya, cita-cita untuk pengentasan kemiskinan tidak akan pernah
terwujud.
Solusi
kemiskinan ini harus dengan solusi sistemik dan ideologis, yaitu dengan
mengganti sistem yang ada sekarang dengan sistem Islam yang akan menerapkan
syariah Islam secara utuh. Dimana dalam sistem Islam terdapat mekanisme untuk
menyelesaikan permasalahan seperti; pertama,
Islam memerintahkan setiap laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhannya
dan keluarganya. Dalam hal ini Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi
kaum laki-laki untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kedua, jika individu itu tetap tidak
mampu, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Ketiga, jika kerabat tidak ada atau tidak mampu, maka beban itu
beralih ke baitul mal yakni kepada negara.
Sedangkan
pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan,
maka negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan menyediakan
aspek-aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut secara gratis atau dengan
biaya yang sekecil-kecilnya kalaupun masyarakat harus membayarnya. Untuk
membiayai semua itu, selain berasal dari harta milik negara juga dari hasil
pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, laut, danau, sungai, hutan
dan sebagainya yang sepenuhnya dikelola oleh Negara dan dikembalikan kepada
rakyat, bukan malah sumber-sumber diserahkan pada individu atau asing dalam pengelolaan
harta milik umum ini.[]
Elis Ratna K.
087823088995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar