Senin, 23 Juli 2012

Penyebab Kemiskinan Indonesia



Pada awal juli 2012 tepatnya tanggal 4, kita disuguhkan lagi dengan kasus bunuh diri. Kasus bunuh diri ini ternyata bukan yang pertama dan satu-satunya. Masih banyak kasus bunuh diri ini yang tidak nampak kepermukaan atau bahkan tidak dinampakan ke permukaan. Bagaikan fenomena gunung es yang nampak dipermukaannya sedikit, padahal mungkin didalamnya lebih besar dari apa yang nampak diluarnya.
Adalah Markiah (30), seorang ibu yang telah melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan Pulo Empang, kota Bogor. Dalam aksi bunuh dirinya ini sang ibu mengajak anaknya yang masih berusia tiga tahun.
Kasus yang serupa juga terjadi pada 2010, Khoir Umi Latifah mengajak dua anak balitanya membakar diri secara bersama-sama. Kemudian pada 2011, Suharta mengajak anaknya gantung diri bersama.  Pada Maret 2012, ada dua kasus serupa, Erawati tega menenggelamkan anak bungsunya yang masih berusia 4 tahun, baru kemudian si ibu memotong urat nadinya. Di Surabaya, Ratna beserta dua anaknya bersama-sama meminum racun pada 25 Maret lalu.
Beberapa kasus bunuh diri ini dilansir karena tidak kuat menahan himpitan beban hidup yang harus mereka tanggung selama ini. Dengan kata lain akibat dari kemiskinan yang terjadi dimasyarakat kita saat ini. Kemiskinan ini tak jarang juga menjadi penyebab berbagai masalah atau bahkan tindakan criminal. Seperti, terganggunya keharmonisan keluarga, perceraian, dan bahkan sampai tindak pembunuhan.
Misalnya menurut Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen (republika.co.id, 24/1). Data itu harus dipertanyakan sebab komponen surveinya tidak realistis. Menurut BPS angka itu adalah perhitungan makro dengan sampel hanya sekitar 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (http://bimakab.bps.go.id/files/miskin.pdf).  Artinya, hanya menggunakan sampel sekitar 0,1115 % yang tentunya belum dapat mewakili sampel data secara makro di Indonesia. Disamping itu, garis kemiskinan yang digunakan Rp 267.408 untuk perkotaan dan Rp 229.226 untuk pedesaan tidak logis dan tidak sesuai dengan biaya hidup sehari-hari.
Program penurunan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah ini tidak menghasilkan efek positif di tengah-tengah masyarakat. Bahkan kemiskinanpun semakin meningkat, walaupun dikatakan menurun data yang digunakan untuk surveynya ternyata masih dipertanyakan. Ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang hanya bisa memenuhi makan yang layak satu kali dalam satu hari saja, tidak dilihat dari bagaimana masyarakat tersebut memenuhi sandang dan papannya juga. Seperti yang dikatakan oleh Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Musni Umar, menilai berbagai klaim keberhasilan pemerintah soal pertumbuhan ekonomi hanya menyentuh masyarakat menengah dan atas. Musni menilai negara yang tidak bisa mengurus orang miskin sebagai negara yang gagal.
Deraan kemiskinan yang melanda negeri ini sebenarnya bukan diakibatkan karena Negara ini miskin serta tidak memiliki sumber kekayaan untuk membiayai masyarakatnya. Jika kita amati Negara kita ini kaya, bahkan sangat kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah, ditambah dengan iklim yang tropis yang berpeluang meningkatnya hasil agraris, seperti pertanian dan perkebunan yang tidak sulit untuk dikembangkan.
Adapun faktor utama yang menjadikan sebagian masyarakt ini miskin adalah adanya sistem yang mengatur Negara ini, yaitu sistem kapitalis-liberal. Dimana dalam sistem ini diterapkan ‘survival of the fittest’, siapa yang kuat dialah yang menang. Akibat dari sistem kapitalisme itu, kekayaan terkonsentrasi pada sebagian kecil orang.  Menurut ekonom Indef, Enny Sri Hartati, 20 % dari penduduk Indonesia menguasai 48 % PDB, sedangkan mayoritas yaitu 80 % dari penduduk Indonesia hanya menguasai 52 % PDB.
Fakta yang lain yang mendukung sistem kapitalis-liberal diterapkan di Negara ini adalah adanya data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tentang distribusi simpanan bank umum April 2012.  Menurut data LPS itu, dari total nilai simpanan di bank umum nasional sebesar Rp 2.894,01 triliun, ternyata Rp 1.508,71 triliun-nya (52,13%) dikuasai oleh hanya 0,14% dari total pemilik rekening.  Data itu juga menunjukkan, 97,38 % dari total pemilik rekening hanya menguasai Rp 466,49 triliun atau 16,12 % dari total nilai simpanan, sementara itu 2,62 % dari total pemilik rekening menguasai Rp 2.427,52 triliun atau 83,88 % dari total nilai simpanan. Padahal total jumlah rekening hanya 101,532 juta atau kurang dari 50% jumlah penduduk Indonesia.
Ironisnya lagi dengan semakin maraknya kasus korupsi dari hulu hingga hilir yang ternyata dilakukan oleh orang-orang yang dikatakan pejabat sebagai refresentasi sosok pemerintah yang harusnya mengurusi dan mengelola kebutuhan rakyatnya. Serta diperparah dengan alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang minim. Atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih berpihak pada asing dari pada rakyatnya.seperti pada baru-baru ini terdapat statmen bahwa Indonesia akan meminjamkan dana ke IMF padahal hutang Indonesia sendiri masih sekitar 225 milyar dolar dan kebutuhan dalam negeripun  belum terpenuhi dengan baik, dalam hal ini masih banyak masyarakat Indonesia yang miskin.
Kemiskinan yang terjadi di Negara ini merupakan kemiskinan struktular. Dimana kemiskinan ini dihasilkan dari sistem yang mengaturnya atau bersifat sistemik. Dengan demikian untuk penanggulangannyapun diperlukan sebuah usaha yang tidak hanya dilakukan dalam bidang ekonomi saja, akan tetapi dari berbagai aspek yang disebut dengan penyelesaian secara sistemik. Ketika sistemnya masih menggunakan sistem sekarang yang notabenenya adalah sistem kapitalis dengan sistem politik demokrasinya, cita-cita untuk pengentasan kemiskinan tidak akan pernah terwujud.
Solusi kemiskinan ini harus dengan solusi sistemik dan ideologis, yaitu dengan mengganti sistem yang ada sekarang dengan sistem Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara utuh. Dimana dalam sistem Islam terdapat mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan seperti; pertama, Islam memerintahkan setiap laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Dalam hal ini Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kedua, jika individu itu tetap tidak mampu, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Ketiga, jika kerabat tidak ada atau tidak mampu, maka beban itu beralih ke baitul mal yakni kepada negara.
Sedangkan pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan menyediakan aspek-aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut secara gratis atau dengan biaya yang sekecil-kecilnya kalaupun masyarakat harus membayarnya. Untuk membiayai semua itu, selain berasal dari harta milik negara juga dari hasil pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, laut, danau, sungai, hutan dan sebagainya yang sepenuhnya dikelola oleh Negara dan dikembalikan kepada rakyat, bukan malah sumber-sumber diserahkan pada individu atau asing dalam pengelolaan harta  milik umum ini.[]
Elis Ratna K.
087823088995








Tidak ada komentar: